11 April 2007

Balet adalah Agama Saya

DI ruang latihan menari di lantai dua itu, Farida Oetoyo senantiasa menuntun gerakan tari balet yang benar dan baik. Ke-14 muridnya dari kelas tingkat dua, usia 8 sampai 15 tahun, menyimaknya dengan tekun. Ia dibantu instruktur muda Olive Avena Halim yang akan membenahi gerakan para balerina cilik itu di lantai menari.

Farida sendiri akan duduk kembali di atas meja panjang yang merapat dinding kaca
dan memerhatikan mereka. Ia segera menyalakan kembali tape di sampingnya. Musik klasik melengking dan bergelombang.

Para balerina cilik itu mengulangi lagi gerakan tari balet dari awal. Terbagi empat kelompok dari masing-masing sudut, mereka bergerak menyusuri lantai menari. Mengembangkan kedua tangannya seperti busur, sesekali membentuk lingkaran elips di atas kepala, dan pada hitungan kedepalan mereka akan berhenti di sebuah titik. Tersenyum dan puas.

Mereka mengenakan stocking putih, sepatu balet warna krem, dan rok serta baju senam biru. Pakaian yang serba seragam ini memberi kesan indah dan menutupi gerakan tari balet mereka yang masih belum solid.
Latihan menari balet ini dimulai dari jam lima sore dan akan berakhir satu jam kemudian. Farida akan terus menemani mereka. Ia memompa bakat dan kerja keras anak-anak kecil itu.

Dari buah tangan kesabaran Farida, lahirlah pebalet-pebalet dan koreografer ciamik Indonesia. Ada Yudistira Syuman, anaknya dari pernikahannya dengan sutradara ternama Sjumandjaja. Ada Susi Mariyah, anak asuh Farida yang dituntun menekuri balet sedari kecil hingga kini menjadi instruktur Sumber Cipta.
Atau yang terkenal Linda Hoemar dan Ditta Miranda. Keduanya balerina tangguh hasi didikan sekolah balet Sumber Cipta. Linda Hoemar menjadi penari yang pernah berkiprah di dunia tari internasional. Adapun Ditta Miranda,kini salah satu penari utama di sebuah dance company di Jerman.

Farida, tentu kini tak menari. Ia sendiri lupa waktu terakhir memertunjukkan keahliannya di depan umum. Karya terbarunya berupa koreografi bertajuk Serdtse atau Jantung yang dibawakan Kreativitat Dance Company, kelompok tari balet asuhannya. Karya ini dipertontonkan di Gedung Kesenian Jakarta, September
2006. Serdtse merupakan kenangan akan kematian ayahnya lantaran serangan jantung saat ia masih berusia 14 tahun.

Sekarang fokus kesibukan Farida hanya untuk sekolah balet miliknya. Ia mengakui sudah tak kuat lagi menari. Tubuhnya tak lagi lentur. Gerak balet yang ia perlihatkan pada banyak muridnya kini sebatas terpaku pada satu tempat. Ia tak mungkin menyusuri lantai menari seperti dulu.

Usianya telah lewat 67 tahun. Namun Farida selalu punya energi lebih untuk balet.
Ia seperti memilik sepasang mata yang selalu awas pada murid-muridnya. Ia bisa seketika berteriak, memberi aba-aba, dan selalu cekatan. Seakan-akan ia tak
pernah merasa lelah. Di titik ini, terasa sekali, balet adalah nafas dan cinta pertamanya.

Farida selalu bangga jika ada anak didiknya menekuni balet sebagai profesi utuh. Alasannya, ”mereka mau meneruskan satu karir yang sebetulnya sulit.” Farida
mengakui balet itu sebenarnya susah. ”Dia (balet) itu untuk hidup harus jalan, ngajar nari ini-itu, mesti built-up, kerja, dan itu gak mudah,” katanya. Tapi juga, kata Farida, saat seseorang sudah masuk ke dunia balet maka ini sudah seperti agama.

”Dia menyenangkan saya, membahagiakan saya, nafkah saya. Kalau keadaan saya sulit, kalau lagi down, lagi stres, ia yang menolong saya. Balet adalah agama saya.” Karena itu sekolah balet Sumber Cipta menjadi semacam tempat ibadahnya.
”Jadi, tempat ini gereja saya atau masjid saya, atau apalah namanya, saya gak tahu,” ucap Farida, sedikit tertawa. [FAHRI]

Tidak ada komentar: