12 April 2007

Aku akan bikin skenario besar Jakarta

Namanya orang film. Bicara soal dirinya yang tengah diperebutkan para calon gubernur Jakarta menjadi pasangan wakil Gubernur, Rano Karno banyak memakai kiasan bahasa film. Inilah Si Doel. Ia kini sadar akan kekuatannya, yang sebenarnya melebihi calon-calon gubernur sendiri.

Seminggu sekali maka ia mengadakan ‘sekolah kecil’ di rumahnya. Banyak tokoh politik dan intelektual yang diundangnya untuk bicara. “Dari mendengarkan dapat lebih cepat belajar”, katanya kepada jurnalis BATAVIASE NOUVELLES Basilius Triharyanto, Fahri Salam dan fotografer Prayitno di kediamannya yang asri.
Berikut petikan wawancara dengannya:

Politik. Ceritanya “film” baru nih?
Rencananya aku mau buat skenario besar tentang Jakarta. Aku akan membikin sinetron besar: Jaya Raya atau Jayakarta. Calon sutradara-sutradaranya dari Fauzi Bowo, Faisal Basri, Agum Gumelar, Adang Daradjatun aku kenal.
Aku kenal semua karakteristik mereka. Sementara asisten sutradaranya cuma aku.. Tugas seorang asisten sutradara itu amat besar. Tahu segalanya. Biasanya sutradara kan cuma duduk dan teriak action saja…ha ha

Produser yang masuk darimana saja, dari PKS?
Kalau PKS dari dulu. Mungkin hampir satu tahun kasih konsep tapi tidak pernah kasih skenario. Yang pertama kali memberikan skenario justru PKB. PKB memberikan kontrak dengan tangan terbuka.

PKB menginginkan Anda jadi sutradara?
Ya.. Nah kalau saya PKB menginginkan saya cagub. Gus Dur bilang Rano Karno itu harga mati. Tapi karena PKB itu partai kecil maka harus ada koalisi. Nah disitulah terjadi negosiasi. Kalau koalisi tentu ada bargaining-bargaining posisi PDIP. Bang Taufik Kiemas misal menerima saya dengan tangan terbuka. PPP malah melamar saya. Tapi mungkin saja yang kecil bisa saja jadi sutradara. Sangat mungkin. Ini adalah politik. Gitu loh….

Anda melihat Jakarta sendiri seperti apa sih?
Saya melihat banyak orang suka di Jakarta tapi nggak cinta. Kalau cinta dia tidak suka buang sampah sembarangan. Kedisiplinan lalu lintas tidak harus diajarkan oleh polisi. Kalau di Singapore, Malaysia, tidak pernah saya lihat tentara, polisi lalu lalang di jalan.
Kenapa? Karena rasa aman itu sudah diciptakan oleh masyarakat sendiri.
Kenapa? Karena kecintaan semua pada kotanya.
Itu yang ingin saya kembalikan. Kembalikan cinta terhadap Jakarta.

Gambaran cinta Anda ini seperti apa?
Ya. Jakarta ini dikembalikan kepada filosofinya. Jakarta itu suatu Indonesia kecil. Jadi kalau orang ke Jakarta harus punya refleksi tentang itu.. Sementara reformasi ini, yang saya lihat mungkin tidak by design tapi by accident. Sehingga semuanya menjadi gamang, mau bergerak seenaknya dan selalu mencoba, trial and error. Soal banjir itu, penanggulangannya kita selalu trial and error.

Skenarionya?
Itulah saya baca lagi blueprint dari Batavia tahun 1954. Tentang Kanal Timur itu sudah lama dan itu bukan satu-satunya. Makanya kalau anda mungkin di Jakarta tahun 60-an masih sempat lihat trem. Kemudian daerah pasar Baru sampai Ancol sana, keliling sampai ke Harmoni sampai ke Museum Fatahillah. Tidak ada jembatan yang rata. Semua melengkung.
Kenapa? Sungai Ciliwung itu buat sarana lalu lintas air. Sekarang dangkal.

Apa penyelesaiannya, masalah banjir itu rumit?
Betul. Sangat rumit. Saya pikir dalam satu masa jabatan tidak akan selesai kalau memang masyarakat tidak ingin menyelesaikan. Saya kemarin dua kali turun ke Ciliwung dari Cawang sampai Manggarai. Hancur semua bantaran kali. Yang hancur bukan ekonomi tapi nyawa.

Penjernihan air di Kali Besar, ini masalah putusan politik?
Harus putusan politik. Problem banjir tidak bisa diselesaikan oleh DKI berapa pun biayanya, kalau hulu-hilir kita tidak dibenahi.
Sampah yang datang dari Jakarta 7000 kibik kemarin. Karena itu, sudah 2 tahun ini saya menggerakkan masyarakat sekitar. Saya memberikan pelatihan pembuatan sampah menjadi kompos. Di kompleks ini ada kebun pelatihan dan pembibitan. Sudah ada 3000
orang datang kesini. Pelopornya bekas menteri kehutanan pak Jamaludin. Itulah concern saya.
Kalau per RT bisa kelola, bisa lakukan ini, 65 persen problem sampah Jakarta selesai.

Si Doel Peduli Lingkungan. Inikah ikon utama Anda?
Ya tidak juga. Saya bergerak ini tidak dalam wacana Pilkada. Dari pada saya buang-buang duit bikin spanduk lebih bagus saya bikin kegiatan sosial. Kegiatan sosial sudah saya lakukan bukan sekarang tapi sudah lima tahun lalu. Banjir 2002 saya sudah bergerak, minimal wilayah dari Pondok Cabe sampai Pondok Labu, Lebak Bulus.
Jangan jauh-jauh. Di belakang tembok rumah saya ini banjir. Pada jumat, hari pertama-kedua jam setengah dua belas malam saya pulang, tidur 40 orang.
Bingung saya. Ada apa? Banjir bang.
Dimana banjir? Padahal mereka cuma tinggal di sini, belakang tembok. Malam pertama sudah 1000 nasi bungkus kita masak. Dan itu bergerak. Nggak harus nunggu wartawan, sehingga orang kemudian bilang, wah abang tebar pesona….

Apakah Ali Sadikin mendukung Anda?
Saya berkunjung ke Bang Ali, difasilitasi anaknya. Tapi Ali Sadikin sudah tua, pelupa… Jangankan sama saya, sama anaknya sendiri lupa. Tapi saat ngomong Jakarta, tiba-tiba bisa sampai dua setengah jam.

rano-ali.jpg

Bang Ali tiba-tiba bisa ingat semua ya?
Itulah luar biasa. Dia tidak tahu siapa saya, tapi dia tahu saya menjadi wacana di Pilkada.
Dia tanya kenapa kamu jadi wakil gubernur, kenapa tidak jadi gubernur? Saya bilang itu karena partai.
Lah, kenapa partai ngurusin gubernur? Haaa…. ya itu sistemnya pak..?
Ya kenapa sistemnya begitu? Nah panjang.
Itu yang luar biasa. Kalau dia bicara Jakarta, waduh emosinya. Dia panggil sekretarisnya tolong anak ini kasih overdraft pertanggung jawaban sebagai gubernur. Apa yang telah saya lakukan. Dan apa yang belum saya lakukan tolong lakukan. Itu yang saya baca setiap hari.
Nah, jadi saya tiba-tiba dikasih berbagai macam cerita dari penulis skenario. Saya berpikir apa mungkin saya dikasih kesempatan untuk jadi wakil sutradara? Itu kembali pada kita. Tapi saya sudah siap. Saya nggak akan bangga kalau saya dipilih dan saya nggak terhina kalau tidak jadi apa-apa….

Jadi penanggulangan banjir progam utama Anda?
Ya.. penanggungan banjir menjadi skala prioritas. Kalau tidak punya titik temu di situ nggak usah bicara sama saya. Jakarta ini kan sudah hancur. Jakarta ini kan depannya bagus.
Belakangnya hancur. Thamrin aja yang bagus. Pembangunan tidak dengan desain nggak ada artinya. Yang dibilang kanal timur itu terlalu besar, nggak ada artinya.

Pendapat Anda soal transportasi Jakarta?
Kita harus punya skala prioritas. Busway sudah terjadi. Mau diapain, mau didiami? Tapi mana, ini keterbatasan dana bung.
Nah kalau anda bicara transportasi Jakarta, saya gampang membahasakan: Jakarta ini garasi untuk empat mobil ditaro 20 puluh. Mo ditaro dimane?
Anda bayangin 600 unit mobil baru setiap hari keluar. Sekarang ribuan motor juga bertambah. Sebagian besar masyarakat kita naik motor.
Begini, busway kendaraannya kurang. Filosofinya kalau yang saya baca di Jepang mereka bergegas dengan waktu. Elo jalan lelet, ketinggalan. Maka di sana yang namanya jam itu betul-betul. Itu untuk pendisiplinan masyarakat. Arah sekian jam sekian. Orang kalau jalan di Tokyo, di New York nggak ada yang jalan berleha-leha, bergegas semua. Kita kan tidak.

Bagaimana mengumpulkan modal untuk semua ini?

Mungkin Anda bingung. Saya hanya modal 2 kambing sama sapi buat dikorbanin saja ke semua partai. Itu yang menarik. Itu yang membuat seni dalam hidup saya. Memang modal diperlukan tapi modal bukan satu-satunya cara.
Buat apa sih uang kampanye, ya bikin spanduk, bikin ini itu. Ah, nggak usah kampanye. Gua dari 9 tahun sudah kampanye. Restoran kecil-kecilan warung Si Doel. Travel Umroh Haji. Kecil-kecil, dan aku nggak pegang. Yang aku pegang perusahaan film….

Organisasi mana yang sudah memberikan dukungan?
Wah banyak ya. Ada yang berkunjung kesin bawa KTP banyak. Ada yang cuma dukungan di kertas doang. Tapi bahasanya satu. Kalau kamu dukung, ikhlas, ayo! Kalau dukung ada embel-embelan, elo pergi! Cheekkk….hiiiii

Siapa saja tim ahli Anda?
Ya gini-gini aja. Kita-kita saja. Kawan-kawan saja. Nggak ada profesornya. Ini bukan tim sukses. Aku bukan cari kesuksesan.. Sudah 2 tahun poling bergerak. Dan nama saya terus di atas. Pertama saya tidak ambil pikir. Apa sih ini.
Kan pertama ada nama Dedy Mizwar, Iwan Fals, Roma Irama. Nah setelah ada poling dari internasional. Agak berpikir juga. Wiiih ini serius. Ya saya nggak tahu apakah poling itu kredibel atau tidak.[]

11 April 2007

Balet adalah Agama Saya

DI ruang latihan menari di lantai dua itu, Farida Oetoyo senantiasa menuntun gerakan tari balet yang benar dan baik. Ke-14 muridnya dari kelas tingkat dua, usia 8 sampai 15 tahun, menyimaknya dengan tekun. Ia dibantu instruktur muda Olive Avena Halim yang akan membenahi gerakan para balerina cilik itu di lantai menari.

Farida sendiri akan duduk kembali di atas meja panjang yang merapat dinding kaca
dan memerhatikan mereka. Ia segera menyalakan kembali tape di sampingnya. Musik klasik melengking dan bergelombang.

Para balerina cilik itu mengulangi lagi gerakan tari balet dari awal. Terbagi empat kelompok dari masing-masing sudut, mereka bergerak menyusuri lantai menari. Mengembangkan kedua tangannya seperti busur, sesekali membentuk lingkaran elips di atas kepala, dan pada hitungan kedepalan mereka akan berhenti di sebuah titik. Tersenyum dan puas.

Mereka mengenakan stocking putih, sepatu balet warna krem, dan rok serta baju senam biru. Pakaian yang serba seragam ini memberi kesan indah dan menutupi gerakan tari balet mereka yang masih belum solid.
Latihan menari balet ini dimulai dari jam lima sore dan akan berakhir satu jam kemudian. Farida akan terus menemani mereka. Ia memompa bakat dan kerja keras anak-anak kecil itu.

Dari buah tangan kesabaran Farida, lahirlah pebalet-pebalet dan koreografer ciamik Indonesia. Ada Yudistira Syuman, anaknya dari pernikahannya dengan sutradara ternama Sjumandjaja. Ada Susi Mariyah, anak asuh Farida yang dituntun menekuri balet sedari kecil hingga kini menjadi instruktur Sumber Cipta.
Atau yang terkenal Linda Hoemar dan Ditta Miranda. Keduanya balerina tangguh hasi didikan sekolah balet Sumber Cipta. Linda Hoemar menjadi penari yang pernah berkiprah di dunia tari internasional. Adapun Ditta Miranda,kini salah satu penari utama di sebuah dance company di Jerman.

Farida, tentu kini tak menari. Ia sendiri lupa waktu terakhir memertunjukkan keahliannya di depan umum. Karya terbarunya berupa koreografi bertajuk Serdtse atau Jantung yang dibawakan Kreativitat Dance Company, kelompok tari balet asuhannya. Karya ini dipertontonkan di Gedung Kesenian Jakarta, September
2006. Serdtse merupakan kenangan akan kematian ayahnya lantaran serangan jantung saat ia masih berusia 14 tahun.

Sekarang fokus kesibukan Farida hanya untuk sekolah balet miliknya. Ia mengakui sudah tak kuat lagi menari. Tubuhnya tak lagi lentur. Gerak balet yang ia perlihatkan pada banyak muridnya kini sebatas terpaku pada satu tempat. Ia tak mungkin menyusuri lantai menari seperti dulu.

Usianya telah lewat 67 tahun. Namun Farida selalu punya energi lebih untuk balet.
Ia seperti memilik sepasang mata yang selalu awas pada murid-muridnya. Ia bisa seketika berteriak, memberi aba-aba, dan selalu cekatan. Seakan-akan ia tak
pernah merasa lelah. Di titik ini, terasa sekali, balet adalah nafas dan cinta pertamanya.

Farida selalu bangga jika ada anak didiknya menekuni balet sebagai profesi utuh. Alasannya, ”mereka mau meneruskan satu karir yang sebetulnya sulit.” Farida
mengakui balet itu sebenarnya susah. ”Dia (balet) itu untuk hidup harus jalan, ngajar nari ini-itu, mesti built-up, kerja, dan itu gak mudah,” katanya. Tapi juga, kata Farida, saat seseorang sudah masuk ke dunia balet maka ini sudah seperti agama.

”Dia menyenangkan saya, membahagiakan saya, nafkah saya. Kalau keadaan saya sulit, kalau lagi down, lagi stres, ia yang menolong saya. Balet adalah agama saya.” Karena itu sekolah balet Sumber Cipta menjadi semacam tempat ibadahnya.
”Jadi, tempat ini gereja saya atau masjid saya, atau apalah namanya, saya gak tahu,” ucap Farida, sedikit tertawa. [FAHRI]

10 April 2007

Gue ingin reggae Indonesia go internasional!

WAWANCARA

Anak kampung yang berontak dari pabrik kaleng.
Memilih hidup dan bermusik di jalanan. Walau digasak dan dicemooh orang, tetap memilih reggae sebagai jalan hidupnya. Lagu-lagunya direkam Putumayo label tersohor dunia untuk world music. Sohor di ajang festival di Amerika tetapi selalu ditolak Kedutaan Amerika di Jakarta ketika mengurus visa.
Inilah reggaeman kita yang selalu bersahaja

SELALU ada berita baru tentang reggae dari Tony Q Rastafara. Selalu ada album atau master musik reggae di dalam tas kecilnya yang akan diperlihatkan kepada orang yang tertarik mencari tahu apa yang kini dikerjakannya. Atau sebuah buku, Bob Marley: Rasta, Reggae, Revolusi yang agak lusuh karena sering dibaca dari tangan ke tangan, dibahasnya bersama beberapa kawan di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan kebetulan dia memberi komentar singkat di sampul belakang. Tony Q, memang reggaeman yang bersemangat!

Kadang dia menghilang dari Jakarta beberapa bulan untuk melakukan konser di beberapa kota di Jawa dan Bali. Biasanya digelar di kampus-kampus, atau bar dan cafe. Kadang langkahnya panjang hingga mancanegara, “Aku mau berangkat ke Aus, nih!” katanya lewat telepon seluler, suatu kali. Maksudnya pergi ke Australia untuk melakukan mixing di Sound Warp untuk album barunya, Anak Kampung, yang akan dirilis dalam waktu dekat ini.

Album Anak Kampung, melibatkan Fully Fullwood, pionir reggae, seorang bassist yang cukup penting perannya dalam perkembangan musik reggae di Jamaika pada dekade 70an.

Selama tigapuluh tahun karir musiknya, Fullwood pernah bekerjasama dengan Bob Marley, Peter Tosh, Black Uhuru, Gregory Isaacs hingga The Mighty Diamondas. Setahun yang lalu, Fully Fullwood dan kawan-kawannya di band Tosh Meets Marley sempat melakukan tur konser di Pekan Raya Jakarta (PRJ) dan Bali. Di belakang panggung konser, Tony Q diperkenalkan kepada Fully Fullwood dan kawan-kawan, serta manajer Mark Miller.
Tiba-tiba saja scene reggae di tanah-air heboh melihat kedekatan Tony Q dengan Fully Fullwood yang kemudian berujung bekerjasama membuat sebuah album.

Sekembali Tony Q dari Australia, BATAVIASE NOUVELLES menemuinya di Wapres pada suatu petang. Sambil menyeruput kopi pahit dan menghisap rokok kretek dengan diselingi senda gurau, lagi-lagi Tony Q bersemangat menjawab BATAVIASE.

Bagaimana Anda bisa dekat dengan Fully Fullwood lalu bekerjasama membuat sebuah album. Apa ini sebuah kebetulan?
Ya, awalnya memang panitia konser memperkenalkan gue dengan Fully Fullwood. Bagi gue ini seperti mimpi besar. Bisa bernyanyi satu panggung dengan musisi reggae legendaris. Bayangkan, dia bilang,’Reggae lahir di dekat rumah saya.’
Lalu dia cerita tentang Bob Marley yang dulunya masih anak bawang… Wah, orang ini nggak sembarangan. Beberapa lagu Bob Marley kan dia ikut menulis, seperti Mr. Brown, Sun is Shining… Wah, luarbiasa!
Lalu panitia menyiapkan keberangkatan gue ke Bali untuk jam-session dengan band Tosh Meets Marley. Nah, ketika di Bali, ini seperti sebuah kebetulan… Setelah konser selesai, manajer band Mark Miller dan Fully serta para musisi ingin jalan-jalan melihat panorama Bali. Ketika itu panitia kabur entah ke mana, sehingga gue dan seorang sopir menemani mereka pergi ke Tanah Lot.
Bayangkan, dalam mobil cuma gue dan sopir doang orang Indonesia yang mengantar musisi reggae dunia, ada yang datang dari California, Swiss, Kanada. Jadi, walau pun satu band tapi mereka tinggal di negara yang berbeda. Selama perjalanan kita semakin akrab, karena gue membantu motret dan ngejelasin tentang pura Tanah Lot. Mereka sangat senang sekali, happy!

Selama bersama mereka, gue nulis lagu Woman yang kata Fully, ’Stag in my head’ dan Mark Miller dapat ide bikin lagu juga, judulnya In The Ghetto, idenya dia dapat ketika melihat orang-orang Jakarta yang bekerja di pagi buta untuk memberi makan keluarga.

Proses rekaman Woman juga terbilang cepat. Kita janjian ketemu di Studio Intro, Kemang, untuk rekaman. Beberapa jam sebelum mereka datang dari Bali, gue udah di studio, karena gue pengen tepat waktu, nggak mau telat. Di studio gue coba-coba bikin bahan dasar musik untuk Woman dengan gitar. Kemudian Fully datang langsung merespon dengan bass, begitu juga dengan yang lain, memainkan keyboard dan perkusi. Fully saja membuat lima versi bas untuk Woman. Semuanya bagus!
Tapi gue harus memilih satu di antaranya.

Anda tadi bilang “Mimpi besar” bernyanyi satu panggung dan bekerjasama dengan Fully Fullwood. Sebenarnya apa sih cita-cita Anda?
Cita-citaku, tampil dalam festival reggae di Jamaika, memperkenalkan reggae Indonesia kepada publik yang lebih luas lagi.

Bagaimana undangan festival reggae internasional selama ini?
Gue nggak bisa datang ke sana… Karena tidak mendapatkan visa dari kedutaan Amerika. Undangan gue terima tidak lama setelah peristiwa tragedi World Trade Center, sebelas september 2001.
Awalnya panitia Bob Marley Festival di Houston, Texas mengundangku untuk tampil sebagai headliners. Tapi gue nggak mau tampil sendiri karena semua lagu gue kan nggak bisa dimainkan sendiri. Di samping itu, gue punya misi untuk memperkenalkan musik reggae Indonesia untuk publik di sana.
Reggae Indonesia kan ada kendang jaipongnya, talempong minang, suling sunda.. ya kayak gitu! Gue ajukan ke panitia bahwa gue baru mau tampil dengan syarat bisa membawa band gue.

Panitia merespon, ‘Tony kamu bisa mencari player yang kamu butuhkan di Amerika, dari kendang sunda, dll…’. Tapi gue tetap bersikeras, gue baru mau tampil dengan musisi Indonesia. Jumlahnya semua 10 pemain. Lama-lama panitia di sana mengerti dengan kebutuhan gue. Kawan-kawan sudah menyiapkan keberangkatan gue untuk festival itu, mereka mau jadi volunteer, dari membuat ‘malam dana’. Gue sangat terharu!
Tapi ketika mengajukan visa untuk sepuluh musisi di Kedutaan Amerika, kita ditolak. Mungkin pemerintah Amrik masih paranoid, setelah tragedi WTC. Kawan-kawan shock, kok sebagai musisi masih juga dicurigai yang kagak-kagak. Lewat e-mail, gue sebar kabar bahwa Kedutaan Amerika tidak memberikan visa kepada musisi Indonesia. Panitia Bob Marley Festival di Houston cukup kaget juga. Seorang akademisi- musikolog dari West Virginia, Prof. Ann membuat petisi yang didukung para musisi dan akademisi Amerika, yang isinya protes keras terhadap pemerintah Amerika agar memberi kesempatan kepada musisi Indonesia untuk tampil pada sebuah festival musik. Petisi itu dikirim ke Gedung Putih, kantornya Presiden Bush.

Selanjutnya, masih ada undangan festival reggae yang datang?
Dari tahun 2003 sampai 2005, gue terus diundang untuk even Legend of Rasta reggae Festival di Houston, Texas. Tapi kan masalahnya, lagi-lagi Kedutaan Amerika di Jakarta tidak memberi visa. Padahal gue banyak mendapat dukungan, baik moril maupun materiil. Promotor Adri Subono dari Java Musikindo, secara pribadi mau ngasih uang puluhan juta kalau gue jadi berangkat. Tapi kenyataannya semua mentok karena nggak dikasih visa. Gue udah usaha, bekerja… Ya, gue sumeleh saja!

Sejak tahun 2004, setiap ada undangan festival reggae internasional, gue mulai cuekin. Tapi orang Amerika memberi dukungan. Mareka tahu lagu gue kan diputar di festival, tapi bertanya-tanya kok orangnya nggak pernah nongol.
Ada orang Amerika yang bekerja sebagai instruktur pada sebuah perusahaan minyak di Houston selalu berhubungan dengan kita lewat e-mail. Beberapa bulan menjelang festival reggae diselenggarakan, dia selalu siap membantu, dari membelikan tiket dan akomodasi. Suatu kali dia menitipkan uang lewat muridnya dari Indonesia, dia orang Batak, yang kebingungan kok ada instruktur perminyakan Amrik punya sahabat musisi reggae dari Indonesia, he..he…he! Lucu juga tuh!

Dari kejadian itu, lama-lama gue baru mengerti, ternyata orang Amerika itu sangat apresiatif dengan musik reggae Indonesia. Prof. Ann, misalnya, selalu memberi gue dorongan terus berkarya. Ketika dia dengar musik gue yang ada elemen musik Sunda, Jawa atau daerah lainnya di Indonesia, dia bilang, itu musikmu enggak ada di Amerika atau Afrika.

Budaya kita kan unik, sejarahnya panjang. Dia akhirnya mengirimkan lagu-laguku kepada Putu Mayo World Record, perusahaan yang berbasis di New York. Satu lagu gue, Pat Gulipat, masuk dalam kompilasi World Reggae berjudul Reggae Playground bersama musisi reggae dunia.
Gue langsung terharu sekaligus bangga, akhirnya musik reggae Indonesia diakui secara internasional.

Tony Q tak pernah menduga lagunya masuk dalam kompilasi Reggae Playground, bersanding dengan Rita Marley, istri Bob Marley dan Judy Mowatt, penyanyi latar The Wailers band Bob Marley, selain itu beberapa musisi yang mengisi album itu antara lain Johny Dread (Kuba), Eric Bibb (Amerika), Alan Schneider (Prancis), Modusta Largo (Maroko), The Burning Soul (Jamaika), Marty Dread (Amerika), Kal Dos Santos (Brasil), Asheba (Trinidad) dan Toot and The Maytals, band lawas dari Jamaika yang melahirkan kosakata “Reggae” ke dunia ini. Seluruh penjualan album ini diperuntukkan pembangunan sekolah taman kanak-kanak di Jamaika. Sebuah program yang bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-bangsa dan Rita Marley Foundation.

Bagaimana Anda melihat perkembangan musik reggae di Indonesia, yang sekarang lagi booming?
Gue selalu mendukung kawan-kawan yang bikin band reggae. Dan selama ini juga gue didukung kawan-kawan. Untuk desain sampul album Anak Kampung, yang bikin Ibnu Hibban, yang sudah menonton band gue sejak dia masih SMP. Sekarang dia sudah sarjana, lulusan jurusan seni rupa Institut Kesenian Jakarta. Cover Anak Kampung adalah skripsi Ibnu, dapat nilai A. Gue kan selalu mendukung sesuatu yang positif, kuncinya asal dikerjakan dengan senang hati semua akan berkembang. Setiap gue ngeband selalu ngajak band-band yang baru untuk jam-sesion. Di musik reggae itu nggak ada jarak, tua-muda saling mendukung. Gue nggak pernah menduga perkembangan reggae di masyarakat seperti sekarang ini, walau media masih memperlakukan seperti anak-tiri, kalau mau dibandingkan dengan musik rock atau pop. Sebagai pelaku reggae, gue akan terus bekerja, berkarya, bikin album…

Ada yang bilang Anda terlalu idealis?
Tolok ukur orang itu apa? Gue sih sederhana saja dalam bermusik. Pertama, harus dilakukan dengan senang hati. Penghasilan gue selama ini dari musik. Gak ada sampingan lain. Kalau gue dulu ngamen di jalanan karena gue melakukan itu dengan senang hati. Kalau gue nyanyi di kafe atau konser di daerah, itu semua gue lakukan dengan senang hati. Banyak juga kan yang mengukur apa yang kita kerjakan dengan berapa uang yang kita dapat… Wah,
itu sih bikin gue tertekan! Gue bikin band, jungkir-balik, terus bubar, karena kawan-kawan dulu nggak punya keyakinan musik reggae bisa diterima pasar. Ukurannya uang! Kalau berkesenian diukur dengan uang dan sukses melulu… yah, kita hidup dalam tekanan. Akhirnya bubar.
Gue sudah puluhan tahun bermusik reggae. Ketika almarhum Imanez masih memainkan karya-karya The Beatles, gue sudah ngereggae. Ketika album reggae dia sukses, gue merasa terpacu untuk berkarya. Iman beruntung karena Potlot mengelola bakat dia. Gue kan berproses dari bawah, dari hidup di jalanan, semua bertahap. Suatu kali gue pernah nyodorin karya gue ke sebuah perusahaan rekaman di Glodok. Tapi syaratnya, album gue akan dirilis tanpa menyertakan vocal gue.
Nama gue tetap dipakai tetapi yang nyanyi orang lain…
Edan! Gue langsung tolak. Begitu gue cerita ke kawankawan, justru gue digasak, dicemooh; ‘kok nggak lu ambil aja itu duit. Kan enak nggak usah capek-capek!’ Gue nggak sependapat! Ini karya gue, dan gue punya kemampuan untuk menyanyikannya. Itu kan suatu keyakinan.
Sekarang terbukti, kawan-kawan yang dulu mencemooh, kebanyakan sudah meninggalkan musik, cari kerja yang tidak ada hubungannya dengan musik. Kalau tetap bermusik, paling hanya memainkan lagu-lagu top-40, tidak berkembang dan penuh dengan tekanan, karena banyak diatur-atur orang dan secara materi gak cukup.
Bermusik itu ekspresi kebebasan. Ya, kita harus merawat kebebasan itu, dengan berkarya, mencari ilmu dan bergaul, mengalir saja… Selama kita memberi dukungan kepada potensi seseorang, pasti ada jalan terbuka untuk kita juga. Ada yang bilang,’wah Tony nyebar virus reggae..’
Padahal kan gue bergaul dengan musisi apa saja, rock, metal, punk… Gue suka pergaulan dan saling memberi apa yang kita tahu. Dulu gue sempat jadi instruktur musik di Wisma Relasi (markas band Steven n’ Coconut Treez).
Dari dalam studio, gue perhatiin ada Steven yang sedang melongok lama dari balik kaca. Dia kan dulu main musik hardcore. Rambutnya panjang belum gimbal.

Keesokan harinya, kita ketemu. Dia minta dibikinin rambutnya dreadlock. Gue bikinin tiga biji. Besoknya dia datang lagi, semua rambutnya sudah digimbal tetapi numpuk jadi satu biji gede banget. Gue rapiin, gue gunting terus dijalin satu-satu, akhirnya jadi kayak sekarang ini. Dia itu sudah ada talent reggaenya. Kalau dengar band hardcorenya, dalam albumnya ada satu lagu reggae. Jadi gue nggak pernah ngasih virus, atau mempengaruhi dia supaya bermusik reggae. Ketika mengerjakan album pertama Coconut Treez, The Other Side, gue dengan teman-teman Rastafara ikut membantu. Bahkan, ketika ada yang datang ke gue, namanya Rival, ingin bermain musik reggae, gue perkenalkan pada Steven. Sampai sekarang dia jadi bassis Coconut Treez. Dalam hati, gue senang sekali melihat mereka sekarang berkembang.

BOLEH dibilang Tony Q Rastafara klotokan dalam bermusik reggae. Hingga kini Tony Q telah melahirkan enam album, yaitu Rambut Gimbal (1996), Gue Falling in Love (1997), Damai dengan Cinta (2000), Kronologi (2003), Salam Damai (2005), dan sebuah album yang dirilis 27 April 2007 bertepatan dengan hari ulang tahunnya, Anak Kampung.

Lirik lagu Anak Kampung adalah sepenggal biografi Tony Q ketika merantau di Jakarta. Pria asal Semarang yang terlahir dengan nama Tony Waluyo Sukmoasih pertama kali hidup di Jakarta bekerja pada PT Singapur-Cakung, sebagai buruh bagian quality control, sebuah pabrik kaleng. Merasa tertekan melihat mesin absensi, ia pindah kerja pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang desain periklanan di Sunter. Suatu kali, ia meminta ijin pada sang bos untuk diperkenankan kuliah seni rupa di Institut Kesenian Jakarta. Tapi si bos tak memberi ijin, justru memberinya setumpuk pekerjaan di percetakan. “Saya marah. Sesuai kontrak kerja kan saya sebagai desainer, hanya menggambar, kok diberi tugas di percetakan. Saya keluar!” sergahnya.

Akhirnya, ia berlabuh di Pasar Kaget Blok-M, hidup secara bohemian dengan mengamen. Ia merasa senang, bebas dan nyaman. “Orangtua saya begitu prihatin mendengar cerita orang-orang bahwa saya ngamen… Padahal saya bahagia dengan cara hidup seperti itu. Banyak teman, makan-tidur-ngamen… hari-hari yang bebas. Ngitung duit jam empat pagi di Hoya. Dapat uang beli senar gitar atau beli buku dan alat-alat lukis,” tutur Tony Q. yang pada masa itu banyak belajar dari musisi jalanan, Anto Baret dan lingkar pergaulan seniman Bulungan. Baginya, rasa was-was orangtua adalah wajar, justru mendorongnya untuk lebih berprestasi.

Perjalanan bermusik Tony Q memang terasah lewat mengamen lalu tampil di kafe-kafe di bilangan Blok-M. “Saya bersyukur ada yang memberi kepercayaan untuk tampil. Selain untuk dapur supaya tetap ngebul, sekaligus bisa bergaul dengan segala kalangan. Saya banyak belajar di sana,” tukasnya serius. Kini secara berkala Tony Q tampil di BB’s sebuah bar di bilangan Menteng setiap jumat dan sabtu malam. Di sana kerapkali band-band reggae seperti Steven n’ Coconut Treez, Gangsta Rasta, dan kadang band reggae dari Yogya, Shaggy Dog tampil menyemarakkan suasana.Tony Q kadang menyanyikan lagu-lagu Bob Marley diringi permainan gitar yang ciamik dari seorang bocah. Pada acara Reggae Gathering, peluncuran album Salam Damai, Tony Q melakukan kolaborasi dengan puluhan anak-anak yang memainkan jimbe. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di pinggir kali Ciliwung tergabung dalam Sanggar Akar yang dibina oleh Hendrikus pemain perkusi/kendang band Rastafara.

Unsur musik-musik tradisional Indonesia begitu kental dalam lagu-lagu Tony Q Rastafara seperti Paris van Java berlirik bahasa Sunda, Ngayogyakarta berbahasa Jawa, dan Pesta Pantai yang memadukan musik talempong Minang. Perpaduan musik-musik tradisonal Indonesia yang dijelajahi Tony Q Rastafara memikat banyak mahasiswa jurusan musik untuk melakukan penelitian. Obie, mahasiswa jurusan musik Institut Seni Indonesia Jogjakarta telah membuat skripsi dari lagu-lagu Tony Q, dengan nilai A.

Pada April setahun yang lampau, dalam diskusi tentang musik reggae di Universitas Paramadina, seorang mahasiswa bertanya, “Bagaimana musik reggae bisa mengusung ide revolusioner kalau hanya bermain untuk kalangan atas?”

Sebagai pembicara Tony Q memberi penjelasan berdasarkan pengalaman selama hidup di jalanan. Musik reggae, katanya, lahir dari kalangan bawah yang tertindas dan terpinggirkan. Reggae merupakan musik perlawanan terhadap sistem penindasan. Lirik lagu yang dibuatnya adalah cerminan kenyataan hidup di Indonesia. Pat Gulipat menggambarkan bagaimana kawan makan kawan, atau kehidupan politik dan ekonomi kita yang sakit, saling menilap. Kalau lagu reggae yang berasal dari reality itu didengar kalangan atas di bar atau kafe, kata Tony Q, itu adalah bagian dari proses transformasi. Agar kalangan atas menyadari sisi kehidupan yang lain di kalangan bawah dan menengah.

Adalah sebuah kenyataan pula, kalangan atas Jakarta kini ramai mendatangi gig reggae seperti yang digelar di Citos-Cilandak Town Square, Colours, News Cafe dan bar-bar lainnya.

PERJALANAN Tony Q dalam bermusik dimulai bersama kawan-kawannya ketika mendirikan band bernama Roots Rock Reggae pada 1989. Namun sayang, band itu tak sempat berlangsung lama, karena kawan-kawannya merasa tidak yakin kalau reggae bisa dipasarkan di tengah masyarakat, hingga bubar paruh 1990. Tahun 1990 Tony Q memndirikan band kembali dengan nama Exodus, namun bubar pada `1992. Kemudian Rastaman, 1992-1994. Terakhir pada 1994 ia mendirikan band Rastafara, hingga bubar tahun 2000. Kini dia lebih memilih berjalan sendiri bersama para additional players-nya.

Semua nama band yang didirikannya mengambil judul lagu Bob Marley. Seperti umumnya pecinta musik reggae, perjalanan musik Tony Q terinspirasi dari perjalanan panjang Bob Marley baik dalam bermusik, juga keterlibatan sosial-politiknya. Di sampul belakang buku yang ditulis Helmi Y. Haska, Bob Marley: Rasta, Reggae, Revolusi (Kepak Book, 2005), Tony Q memberi komentar,”Selama ini gue memperjuangkan pikiran-pikiran Bob Marley. Marley buat gue adalah guru. Gue salut! Bob Marley memperjuangkan manusia supaya bangkit dari mental budak, mental slavery! Kondisinya mirip-mirip di sini. Gue teruskan perjuangan dia dengan musik reggae di bumi tercinta ini: Indonesia!”.

Berjuang, adalah kata kunci yang sering diucapkan Tony Q. Dan untuk menjadi reggaeman cobalah simak penggalan lagu Reggae berikut ini:

Reggae nggak harus gimbal
Gimbal nggak harus reggae
Reggae nggak harus beganjo
Reggae musik yang pecinta damai
[HELMI Y.HASKA]


09 April 2007

Salam Bataviase

Selamat jumpa Pembaca,

Di edisi ini kami mendapat kehormatan dengan hadirnya banyak tokoh dengan tulisan-tulisan menarik untuk direnungi. Ada Prof. Otto Soemarwoto dengan wacananya yang patut dikembangkan, pelukis dan sastrawan Danarto yang jazzy, dan Romo Mudji yang melihat lebih jauh dari yang terlihat. Wikana menyinggung suasana langit, Max de Bruijn mengusulkan identitas nasional, Vincent Liong bicara fenomena anak indigo, dan Ras Muhamad mengenai falsafah reggae.

cover story memang menengok pada fenomena reggae. Keberhasilan seorang Tony Q merambah internasional menyulut keteguhan pecinta reggae lain hingga bermunculan album reggae Indonesia yang bisa diperhitungkan. Di sisi lain, banyaknya anak dan remaja yang mengikuti sekolah-sekolah ballet memberi harapan cerah. Dalam rangka International Dance Day pada 29 April, bataviase specials nomor ini dikhususkan tentang mereka, disertai esai foto pebalet kembar Adella dan Alleta, hasil jepretan Iskandar Malaka.
Sebelum ada pengumuman resmi tentang calon gubernur, Rano Karno telah kami wawancarai untuk rubrik calon gubernur. Harapan kami tentunya calon-calon masih bisa ditambahkan dan Rano termasuk diantaranya. Partai politik jika tidak mempunyai calon, sepantasnya melamar kepada para kandidat, bukan sebaliknya.
Dunia masa lalu kami tengok melalui Citadelweg, Pasar Senen, dan Pabrik Opium. Sedangkan dunia luar kami singgung melalui Capoeira, World Major, Al Gore, Bus gandeng, Kartini Prize, dan Esplanade Theatre.... karena hingga akhir April ini kelompok musical dari Broadway, New York, manggung tidak jauh dari Jakarta. The Phantom of the Opera, musical karya Andrew Lloyd Webber, meski tidak digelar di Jakarta tetap kami informasikan. Alasannya, karena lumayan banyak diantara Anda yang bepergian ke Singapura, juga tidak sedikit yang ingin mengenal lebih jauh kehebohan The Phantom of the Opera yang digelar terus menerus selama 20 tahun ini.
Dan... masih cukup banyak tulisan lain mendampingi daftar agenda acara seni budaya di Jakarta sepanjang April-Mei ini.
Semoga berkenan di hati dan membangkitkan insprasi-inspirasi baru untuk berkarya.

Salam Bataviase.