17 Juni 2007

Selamat Datang

Anda berada di blog Bataviase Nouvelles versi beta.
Versi alpha, dengan artikel yang lebih banyak dan dilengkapi foto bisa disimak di Wordpress.

Di versi beta ini masih dalam proses penyalinan artikel dari wordpress.
Juga masih dalam test interface yang lebih friendly dan terorganisir.
Tentu saja masih banyak kekurangan.
Namun Anda bisa jalan-jalan melihat daftar isi setiap edisi,
juga ada berbagai daftar alamat di tab Direktori --di sudut kanan atas.
Diupayakan setiap harinya ada perbaikan dan updating.

Usulan, kritik dan komentar Anda akan sangat membantu.

Salam Bataviase



Sepuluh tahun Proklamasi Mahakarya

Dari mahakarya dunia yang patut dijaga kelestariannya dan direvitalisasi, hanya dipilih 90, dan Indonesia hanya sempat mengajukan dua dari sekian banyak tradisi yang terancam punah.

Sepuluh tahun lalu, 1997, UNESCO (United Nations Educational,
Scientifi c and Cultural Organization) meluncurkan pendaftaran The Proclamation of Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity (Proklamasi Mahakarya Warisan Budaya Oral serta Nonbendawi).
Proses pendaftaran ditutup dengan diberlakukannya konvensi pelestarian warisan budaya non-bendawi (Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage) pada 20 April 2006 yang diratifikasi pertama kali oleh 30 negara. Hingga 29 Mei 2007 sudah tercatat 78 negara, nama Indonesia tidak tercantum di situ.

HIKAYE, TRADISI ORAL. HAMPIR SEMUA WANITA PALESTINA DI ATAS USIA 70 ADALAH PENDONGENG HIKAYE. ANAK-ANAK PUN SUKA BERCERITA SEBAGAI LATIHAN ATAU PERMAINAN. FOTO UNESCO

Ditetapkan dua jenis warisan budaya yang non-bendawi (intangible), yaitu ekspresiekspresi kultural —populer maupun tradisional; dan ruang-ruang kultural (cultural spaces). Di dalamnya ada berbagai bentuk manifestasi yang terus berevolusi, termasuk tradisi oral, pertunjukan seni, musik, festival, ritual, praktek sosial dan ilmu yang berkaitan dengan alam.

Proklamasi ini diniatkan untuk menggugah kesadaran tentang pentingnya menjaga dan merevitalisasi warisan budaya. Dengan aktivitas ini diharap —di masing-masing negara, tercipta inventarisasi nasional, terbentuk badan-badan pelindung, diadopsinya aturan administrasi dan hukum, dan dalam proses identifikasi dan revivalnya itu akan ada keterlibatan para pemangku tradisi.
Namun sayang, reformasi politik dan rentetannya dalam sepuluh tahun ini telah menelantarkan peluang diakuinya berbagai kekayaan budaya Indonesia sebagai mahakarya yang perlu dibantu dan dijaga pelestariannya secara internasional.

GONG, CULTURAL SPACE DI VIETNAM, BERPERAN SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI ANTAR PRIA, PARA DEWA, DAN DUNIA SUPRANATURAL. IA JUGA KEKAYAAN, OTORITAS, DAN PRESTIZ SETIAP KELUARGA. FOTO UNESCO

Dalam prosedurnya, setiap dua tahun hingga 2005, UNESCO mengundang negara-negara untuk menyerahkan data beserta action plan yang kemudian dievaluasi oleh berbagai LSM dan diteliti oleh juri internasional. Kriterianya: ekspresi dan ruang kultural harus berupa tradisi yang masih berlanjut, menunjukkan kreativitas genius manusia, merupakan identitas kultural yang berada dalam resiko kepunahan.


PROSESI RAKSASA DAN NAGA. EKSPRESI KULTURAL INI MUNCUL PERTAMA KALI DI ABAD 16, HINGGA KINI MASIH MENJADI SIMBOL DAN IDENTITAS DI BEBERAPA KOTA DI BELGIA DAN PRANCIS. TINGGINYA MENCAPAI 9 METER DENGAN BERAT HINGGA 350 KG. FOTO UNESCO

Revitalisasi, penyelamatan dan promosi warisan budaya yang terpilih akan didukung oleh UNESCO. Karenanya dalam action plan yang diajukan juga tercakup aktivitas riset dan dokumentasi, identifikasi dan sensus, langkah-langkah transfer pengetahuan kepada generasi mendatang, pembangkitan kesadaran melalui festival dan konferensi, pengadopsian peraturan perlindungan, kurikulum khusus di sekolah dan universitas, dsb.
Suatu kerja besar bagi Indonesia yang bergudanggudang data warisan budayanya belum terorganisir.

Pada bulan Mei 2001, Koïchiro Matsuura, Direktur Jenderal UNESCO, memproklamirkan 19 mahakarya yang bernilai luarbiasa dari sisi sejarah, artistik, etnologi; dan merupakan identitas kultural, sebagai contoh-contoh mahakarya yang layak diajukan oleh setiap negara.

Pada Nopember 2003 dari 56 yang diajukan, diproklamirkan 28 mahakarya, termasuk diantaranya wayang Indonesia. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menugaskan SenaWangi mempersiapkan pencalonan wayang. “Ini memang membanggakan, namun juga suatu tantangan bagaimana kita mampu untuk terus melestarikan dan mengembangkan budaya wayang. Seluruh masyarakat, pemerintah, dan UNESCO sesuai Konvensi memiliki tanggung jawab dan kewajiban bersama untuk mengembangkan wayang,” kata Ketua Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Sena Wangi), H. Solichin (Suara Pembaruan, 7 April 2004).

Proklamasi terakhir pada Nopember 2005, menetapkan 43 mahakarya. Keris yang termasuk di dalamnya, seperti juga teater Kabuki dari Jepang, ”masih hidup dan dihayati. Tradisi masih berlanjut. Berbeda dengan budaya samurai di Jepang yang kini sudah mati,” ungkap Koïchiro Matsuura, beberapa saat setelah menyerahkan sertifikat pengakuan UNESCO kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta (Kompas, 5 Desember 2005).

“Perkembangan dunia sekarang membuat masyarakat sudah tidak familiar lagi dengan keris. Orang hanya melihat keris sebagai senjata penuh mistik, nah kita ingin mengoreksi itu.” ucap Junus Satroatmodjo, Ketua Panitia Workshop dan Pameran Keris di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Ki Juru Bangunjiwo, ahli keris, mengemukakan, pemerintah harus mulai memerhatikan nasib para perajin dan empu keris. “Karena di tangan merekalah pembuatan keris ini akan bisa tetap lestari,” paparnya. (Kompas, 11 Maret 2006)

Masingmasing ke-90 mahakarya dunia yang diproklamirkan bisa dilihat di sini. [berbagai sumber]


16 Juni 2007

Seorang ‘dukun’ di mall

Vincent Liong, kini dikenal sebagai seorang terapis. Metodenya ilmiah:mengeksplorasi kemampuan otak untuk bisa meningkatkan komunikasi, empati dengan diri sendiri dan orang lain. Tetapi itu dilakukan dengan hal-hal yang sepele. Wartawan Bataviase Nouvelles mencoba mengikuti terapi model Vincent ini.

Berikut pengalamannya

“Langsung aja ke tempatku, terus kita ke Plaza Senayan.
Gue biasa bikin terapi di sana kok. Jangan harap ada nasehat, ramalan, apalagi asap dupa…hehehe! . Oke, bye!” Prak. Telepon di tutup Vincent Liong.

Dua jam kemudian, Vincent Liong dan Carolina Istiani mengajakku ke Plaza Senayan. Memasuki Hero Supermarket, Isti membeli 9 botol teh, minuman bervitamin, dan 2 kotak rasa buah dan asem jawa.
Minuman disusun di atas nampan, membentuk formasi segitiga: empat botol teh, tiga botol minuman bervitamin, satu kotak minuman buah dan sekotak minuman rasa asam jawa.

“Ini bakal menguras energi,” katanya singkat sambil nyengir. Bergiliran kami mengisi gelas dengan aneka minuman menurut campuran yang diinginkan pada sebuah gelas tuang. Kemudian dibagi berempat: Vincent, Isti, saya dan seorang kawan. Semua secara bergiliran menuang dan mereguk teh.

“Ini seperti ritual,” kata Isti, sang istri. Mantan dosen Fakultas MIPA-UI itu telah bertahun-tahun bersama Vincent Liong mengembangkan terapi ala mereka.
Setiap kami minum seteguk teh, Vincent akan menanyakan bagaimana rasa minuman yang dicampur menurut selera masingmasing itu dan bagaimana tubuh (perut, lidah, tenggorokkan, dll) merasakan atau bereaksi atas minuman campuran itu. Tak ada pertanyaan lain.

Semua fokus dan konsentrasi pada rasa minuman dan reaksi tubuh. Para pengunjung di food court Plaza Senayan, memperhatikan “ritual minum teh” yang bisa dibilang gendeng ini.

“Inilah tempat yang baik untuk melakukan terapi. Kalau kita lakukan di tempat sepi seperti yang dilakukan para dukun-dukun itu, kita tak akan pernah beradaptasi dengan setiap perubahan,” papar Vincent.

Sosok Vincent mulai dikenal masyarakat sejak ia mengiklankan diri menjadi dukun/healer di dunia maya.
Ia memperkenalkan sebuah metode rekonstruksi diri baru yang “ilmiah” yang jauh dari klenik. Sebuah metode yang menurutnya membuat orang bisa menghilangkan trauma pada dirinya dan menjadi manusia baru. Membuat orang lebih bisa melihat hubungan antara past, present dan future dalam dirinya.
Metode yang dapat membuat orang dapat mengambil pilihan/tindakan yang tepat dalam hidup dan menakar konsekuensikonsekuensinya.

Perjalanan pemikiran Vincent diawali menjadi pengamat pasif, mengamati hal-hal yang dianggap sepele dan tidak menarik perhatian orang lain. Ia mengamati apa saja dari benda mati seperti: pensil, buku sampai anjing, orang. Kebiasaan menjadi pengamat masih berlanjut ketika pindah sekolah ke Australia.

Tahun 2003 ia kembali ke tanah air dan sekolah di The Gandhi Memorial International School (The GMIS). Pergaulan lintas negara di sekolah ini membawa perubahan struktur cara berpikirnya dan terobsesi pada film-film bertema mata-mata. Obsesi ini membuat Vincent melakukan permainan sebagai partisipan observer dan percobaan dengan selalu makan pagi bersama teman sekolahnya, anak-anak dari kedutaan Korea Utara dan makan siang dengan anak kedutaan Mozambique, India dan Oman setiap hari.

Kegiatan ini berlangsung hingga lulus dari The GMIS awal tahun 2005. Setelah jadi guru kundalini sejak Juli-Desember 2004, Vincent secara serius mengembangkan metodenya yang pada intinya adalah studi logika dan komunikasi.

Ia melakukan penelitian-penelitian mengenai struktur cara berpikir manusia. Bagaimana pikiran bisa lebih lebih realistik terhadap diri sendiri dan empati terhadap lingkungan sekitarnya, tidak saja terhadap sesama manusia tapi juga terhadap makhluk hidup lain dan benda mati.
Otak manusia menurutnya bekerja seperti cara kerja komputer: yaitu dengan cara copy & paste memori. Ia percaya setiap benda baik hidup maupun mati ‘menginfeksi’ benda lain dan bersamaan pula ‘terinfeksi’ benda lain. Semua saling bergesekan dan saling mempengaruhi.

Otak manusia menurutnya bagai sebuah operating system. Operating system ini dapat di-install dan dapat diuninstall kapan saja dimana saja tanpa mengganggu system operation yang natural dari manusia individu tersebut.

Percobaan demi percobaan dilakukan Vincent dengan merekrut murid. Ia meriset berbagai tulisan mengenai fungsi otak kiri dan kanan. Ia tertarik pada fungsi otak yang mampu melakukan guessing dan prediction yang didasarkan pada memori yang dimiliki oleh individu.

Ia berpendapat bila pikiran terbiasa untuk melakukan pengukuran pada hal-hal yang dihadapi dalam ‘dirinya sendiri’ (terukur) ia dapat melakukan antisipasi dan adaptasi terhadap peristiwa atau kejadian yang akan dihadapi baik yang menyenangkan maupun tidak.

Dan belajar untuk memahami struktur berpikir diri sendiri itu bagi Vincent Liong bisa bermula dari secangkir teh. Di T Gallery, kafe di Senayan City yang menghidangkan puluhan rasa teh dunia itu, aku dibimbing untuk menginstropeksi diri sendiri. Sebelum memesan, Anda dipersilahkan memilih dan mencium aromanya. Ada teh beraoma kopi dan coklat, vanila, srawberry, mint dan puluhan rasa lainnya. Arabian Night, Moon Rock, Mochino…

Kami minum teh hangat itu. Meneguk dengan takzim. Merasakan aromanya, merasakan reaksi tubuh. Ada yang rileks, tertawa terbahak-bahak, ada juga yang serius. Inilah terapi ala Vincent Liong. Tak ada nasehat, ramalan atau asap dupa. Tapi tetap saja Vincent ingin disebut sebagai dukun, tepatnya dukun di mall. [HASKA]