16 Juni 2007

Seorang ‘dukun’ di mall

Vincent Liong, kini dikenal sebagai seorang terapis. Metodenya ilmiah:mengeksplorasi kemampuan otak untuk bisa meningkatkan komunikasi, empati dengan diri sendiri dan orang lain. Tetapi itu dilakukan dengan hal-hal yang sepele. Wartawan Bataviase Nouvelles mencoba mengikuti terapi model Vincent ini.

Berikut pengalamannya

“Langsung aja ke tempatku, terus kita ke Plaza Senayan.
Gue biasa bikin terapi di sana kok. Jangan harap ada nasehat, ramalan, apalagi asap dupa…hehehe! . Oke, bye!” Prak. Telepon di tutup Vincent Liong.

Dua jam kemudian, Vincent Liong dan Carolina Istiani mengajakku ke Plaza Senayan. Memasuki Hero Supermarket, Isti membeli 9 botol teh, minuman bervitamin, dan 2 kotak rasa buah dan asem jawa.
Minuman disusun di atas nampan, membentuk formasi segitiga: empat botol teh, tiga botol minuman bervitamin, satu kotak minuman buah dan sekotak minuman rasa asam jawa.

“Ini bakal menguras energi,” katanya singkat sambil nyengir. Bergiliran kami mengisi gelas dengan aneka minuman menurut campuran yang diinginkan pada sebuah gelas tuang. Kemudian dibagi berempat: Vincent, Isti, saya dan seorang kawan. Semua secara bergiliran menuang dan mereguk teh.

“Ini seperti ritual,” kata Isti, sang istri. Mantan dosen Fakultas MIPA-UI itu telah bertahun-tahun bersama Vincent Liong mengembangkan terapi ala mereka.
Setiap kami minum seteguk teh, Vincent akan menanyakan bagaimana rasa minuman yang dicampur menurut selera masingmasing itu dan bagaimana tubuh (perut, lidah, tenggorokkan, dll) merasakan atau bereaksi atas minuman campuran itu. Tak ada pertanyaan lain.

Semua fokus dan konsentrasi pada rasa minuman dan reaksi tubuh. Para pengunjung di food court Plaza Senayan, memperhatikan “ritual minum teh” yang bisa dibilang gendeng ini.

“Inilah tempat yang baik untuk melakukan terapi. Kalau kita lakukan di tempat sepi seperti yang dilakukan para dukun-dukun itu, kita tak akan pernah beradaptasi dengan setiap perubahan,” papar Vincent.

Sosok Vincent mulai dikenal masyarakat sejak ia mengiklankan diri menjadi dukun/healer di dunia maya.
Ia memperkenalkan sebuah metode rekonstruksi diri baru yang “ilmiah” yang jauh dari klenik. Sebuah metode yang menurutnya membuat orang bisa menghilangkan trauma pada dirinya dan menjadi manusia baru. Membuat orang lebih bisa melihat hubungan antara past, present dan future dalam dirinya.
Metode yang dapat membuat orang dapat mengambil pilihan/tindakan yang tepat dalam hidup dan menakar konsekuensikonsekuensinya.

Perjalanan pemikiran Vincent diawali menjadi pengamat pasif, mengamati hal-hal yang dianggap sepele dan tidak menarik perhatian orang lain. Ia mengamati apa saja dari benda mati seperti: pensil, buku sampai anjing, orang. Kebiasaan menjadi pengamat masih berlanjut ketika pindah sekolah ke Australia.

Tahun 2003 ia kembali ke tanah air dan sekolah di The Gandhi Memorial International School (The GMIS). Pergaulan lintas negara di sekolah ini membawa perubahan struktur cara berpikirnya dan terobsesi pada film-film bertema mata-mata. Obsesi ini membuat Vincent melakukan permainan sebagai partisipan observer dan percobaan dengan selalu makan pagi bersama teman sekolahnya, anak-anak dari kedutaan Korea Utara dan makan siang dengan anak kedutaan Mozambique, India dan Oman setiap hari.

Kegiatan ini berlangsung hingga lulus dari The GMIS awal tahun 2005. Setelah jadi guru kundalini sejak Juli-Desember 2004, Vincent secara serius mengembangkan metodenya yang pada intinya adalah studi logika dan komunikasi.

Ia melakukan penelitian-penelitian mengenai struktur cara berpikir manusia. Bagaimana pikiran bisa lebih lebih realistik terhadap diri sendiri dan empati terhadap lingkungan sekitarnya, tidak saja terhadap sesama manusia tapi juga terhadap makhluk hidup lain dan benda mati.
Otak manusia menurutnya bekerja seperti cara kerja komputer: yaitu dengan cara copy & paste memori. Ia percaya setiap benda baik hidup maupun mati ‘menginfeksi’ benda lain dan bersamaan pula ‘terinfeksi’ benda lain. Semua saling bergesekan dan saling mempengaruhi.

Otak manusia menurutnya bagai sebuah operating system. Operating system ini dapat di-install dan dapat diuninstall kapan saja dimana saja tanpa mengganggu system operation yang natural dari manusia individu tersebut.

Percobaan demi percobaan dilakukan Vincent dengan merekrut murid. Ia meriset berbagai tulisan mengenai fungsi otak kiri dan kanan. Ia tertarik pada fungsi otak yang mampu melakukan guessing dan prediction yang didasarkan pada memori yang dimiliki oleh individu.

Ia berpendapat bila pikiran terbiasa untuk melakukan pengukuran pada hal-hal yang dihadapi dalam ‘dirinya sendiri’ (terukur) ia dapat melakukan antisipasi dan adaptasi terhadap peristiwa atau kejadian yang akan dihadapi baik yang menyenangkan maupun tidak.

Dan belajar untuk memahami struktur berpikir diri sendiri itu bagi Vincent Liong bisa bermula dari secangkir teh. Di T Gallery, kafe di Senayan City yang menghidangkan puluhan rasa teh dunia itu, aku dibimbing untuk menginstropeksi diri sendiri. Sebelum memesan, Anda dipersilahkan memilih dan mencium aromanya. Ada teh beraoma kopi dan coklat, vanila, srawberry, mint dan puluhan rasa lainnya. Arabian Night, Moon Rock, Mochino…

Kami minum teh hangat itu. Meneguk dengan takzim. Merasakan aromanya, merasakan reaksi tubuh. Ada yang rileks, tertawa terbahak-bahak, ada juga yang serius. Inilah terapi ala Vincent Liong. Tak ada nasehat, ramalan atau asap dupa. Tapi tetap saja Vincent ingin disebut sebagai dukun, tepatnya dukun di mall. [HASKA]



Tidak ada komentar: